SURAKARTA, TELIKSANDI.ID – Pernikahan adalah ikatan lahir batin yang sangat kuat (mitsaqan ghalidan) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Namun demikian, acapkali perkawinan sulit terhindarkan dari hempasan badai masalah kehidupan, sehingga bahtera rumah tangga sulit untuk dipertahankan.
Berdasarkan laporan dari Sitem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Agama Surakarta disebutkan bahwa, pada periode Januari hingga November 2019 terdapat 1468 perkara masuk. Dari keseluruhan perkara tersebut, sebanyak 1321 perkara atau 90% didominasi oleh perkara perceraian, sedangkan 10% lainnya terdiri dari perkara waris, dispensasi perkawinan dan sengketa ekonomi syariah.
Dari total angka perceraian yang diajukan di Pengadilan Agama Surakarta, sebanyak 989 perkara yang mengajukan adalah pihak istri (cerai gugat), sedangkan sisanya 332 diajukan oleh pihak suami (cerai talak). Jumlah ini akan terus meningkat hingga penutupan akhir tahun 2019 mendatang.
Berdasarkan penuturan dari Ketua Pengadilan Agama Surakarta Dr. Drs. Muhlas, S.H., M.H. dikatakan bahwa, “penyebab utama perkara perceraian di Pengadilan Agama Surakarta disebabkan oleh perselisihan dengan mencapai lebih dari 50% dari total perkara cerai, kemudian disusul masalah ekonomi sebanyak 30%, tidak bertanggung jawab/meninggalkan pasangan sebanyak 17% dan sisa lainnya disebabkan oleh mabuk, Kekerasan dalam Rumah Tangga, judi, murtad, kawin paksa dan poligami,” tutur Ketua.
Secara kuantitatif, di tingkat Pengadilan Agama se Soloraya, PA Surakarta menempati posisi paling rendah dalam penerimaan perkara cerai, sedangkan Pengadilan Agama yang menduduki penerimaan perkara cerai paling tinggi adalah PA Sragen. Kondisi ini juga tidak lepas dari jumlah penduduk dan tingkat pendidikan di suatu daerah. Pada umumnya, daerah yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi lebih dominan, tingkat perceraiannya juga akan semakin sedikit, sedangkan Surakarta adalah daerah perkotaan yang menjadi pusat pendidikan dan bisnis bagi daerah sekitarnya. Kondisi demikian tentu sedikit banyak berpengaruh terhadap cara pandang masyarakatnya terkait perceraian. Berikut penuturan Ketua PA Surakarta:
“PA Surakarta menempati perolehan perkara perceraian yang paling rendah se-Soloraya dibanding dengan Pengadilan Agama lainnya. Kondisi seperti dikarenakan, Surakarta merupakan Kotamadya bagi daerah lainnya yang menjadi pusat pendidikan, bisnis dan kebudayaan. Tentu hal seperti ini sedikit banyak berpengaruh terhadap cara pandang masyarakatnya. Disamping itu, hal yang sulit dipungkiri adalah, bahwa kota Surakarta luas wilayahnya juga sempit, tidak seluas kabupaten di sekitarnya, dan hanya terdiri dari 5 kecamatan. Sehingga hal ini juga berpengaruh pada jumlah penduduk,” tambah Ketua.
Banyaknya perselisihan yang menjadi sebab utama dibanding persoalan ekonomi, ini menunjukkan bahwa penduduk Kota Surakarta sudah mengalami peningkatan kesejahteraan, artinya akan ada banyak janda/duda yang kaya secara ekonomi. Selain itu, perkara tidak bermoral seperti pasangan tidak bertanggung jawab, KDRT, mabuk, judi juga rendah. Ini juga menunjukkan bahwa penduduk Kota Surakarta secara moral dan kebudayaan sudah terbangun lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Mengenai hal ini Ketua Pengadilan Agama Surakarta memberikan solusi pencegahan perceraian sebagai berikut:
“Penyebab perceraian yang paling tinggi di PA Surakarta adalah perselisihan, justru bukan malah ekonomi. Ini mengindikasikan bahwa, profesi dan kebutuhan ekonomi kedua belah pihak sudah mapan. Untuk itu solusinya adalah menjalin komunikasi yang baik. Biasanya kedua belah pihak sama-sama bekerja di luar rumah, komunikasinya tersendat, dan lebih banyak berkomunikasi dengan pihak pihak lain, terlebih kondisi seperti ini didukung dengan media sosial, bila tidak mampu menyikapi kemajuan teknologi yang baik justru malah bisa menjadi boomerang. Selain menjalin komunikasi yang baik, pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kota Surakarta dan Kemenag Surakarta harus merevitalisasi fungsi BP4 dengan baik, dengan merangkul tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk meredam perselisihan dalam rumah tangga,” ungkap Ketua.
“Memang perkara ekonomi tidak menjadi prioritas utama, namun juga masih menjadi kendala permasalahan rumah tangga bagi sebagian masyarakat yang mengajukan perceraian di PA Surakarta. Solusi pencegahannya adalah masyarakat harus kreatif, di era industri 4.0 seperti ini bila kita tidak mampu mengikuti trand perkembangan zaman akan ketinggalan. Di samping itu Dinas Perdagangan Koperasi dan Usaha Mikro Kota Surakarta harus meningkatkan kerjasama dengan LSM atau organisasi lainnya yang konsen dalam pembinaan terhadap Usaha Kecil Menengah (UKM), mengingat Surakarta adalah kota pusat ekonomi dan industri bagi daerah sekitarnya. Dengan demikian angka perceraian yang disebabkan oleh ekonomi dapat ditekan lagi,” papar Ketua.
Selain solusi-solusi yang dipaparkan di atas, Ketua Pengadilan Agama Surakarta juga menyambut baik gagasan Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK) terkait hadirnya program kursus pra nikah bagi calon pengantin yang akan dilaksanakan tahun 2020 mendatang:
“Pengadilan Agama Suarakarta menyambut baik program Mentri PMK terkait kursus pra nikah bagi calon pengantin. Setidaknya hal itu merupakan ikhtiyar dari pemerintah untuk menekan angka perceraian di Indonesia. Karena pada umumnya perceraian yang sering terjadi di kalangan pernikahan usia muda disebabkan oleh belum memahaminya hak dan tanggung jawab masing-masing pasangan suami istri. Dengan melalui kursus pra nikah diharapkan, pasangan suami istri akan lebih matang dalam menghadapi ujian kehidupan,” optimis Ketua.
Selain menangani perkara perceraian, Pengadilan Agama Surakarta juga menangani perkara sengketa ekonomi syari’ah sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Terkait perkara ini, hanya 4 perkara yang masuk pada tahun 2019 di PA Surakarta.
“Ada beberapa indikator terkait minimnya perkara ekonomi syariah di PA Surakarta. Pertama, pemahaman masyarakat masih komersial, belum memahami manfaat ekonomi syariah, untuk itu solusinya adalah perlu meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat. Bahwa asas ekonomi syariah dibangun berdasarkan asas kerelaan. Asas kerelaan di dalam ekonomi syariah sangat dominan, berbeda dengan konvensional yang lebih mengutamakan provit. Kedua, system ekonomi syariah mengedepankan asas ta’awun (tolong menolong), sehingga pelaku ekonomi syariah lebih mendahulukan asas musyawarah (non litigasi) bila terjadi sengketa dibanding mengajukan perkara secara litigasi ke Pengadilan Agama. Fakta inilah yang menyebabkan perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama Surakarta sedikt” tutup Ketua. (Yusron Trisno Aji)