Jakarta, Teliksandi.id – Mantan aktivis Fadjroel Rachman resmi diangkat sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi sejak Senin (21/10). Dia sempat kritis terhadap Orde Baru dan Presiden keenam RI Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), namun tampaknya jejak itu tak berbekas hari ini.
Ia sebelumnya menjadi salah satu sosok yang dipanggil Presiden Jokowi ke Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (21/10). Berkemeja putih, Komisaris Utama PT Adhi Karya (Persero) Tbk itu datang ke istana bersama dengan mantan menteri Sekretaris Negara Pratikno dan staf ahli Mensesneg Nico Harjanto.
Usai pertemuan dengan sang kepala negara, Fadjroel mengaku mendapatkan tugas dari Jokowi saat bertemu sembari makan siang bersama dan mengaku akan menjadi rekan kerja wartawan.
Keesokan harinya, ia membenarkan soal tugas baru dari Jokowi itu. “Sebagai staf khusus bidang komunikasi, per 21 Oktober. Sebenarnya kemarin itu sudah dibuatkan (SK-nya) ,” kata Fadjroel di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (22/10).
Sebelum jadi jubir, Fadjroel punya rekam jejak aktivisme sejak era orde Baru. Ia sebelumnya dikenal sebagai aktivis yang keras bersuara terhadap pemerintahan dari mula era Orde Baru hingga Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Fadjroel mengenyam pendidikan S1 Jurusan Kimia ITB pada 1980-an. Dia kemudian menyelesaikan studi S2 manajemen keuangan di Fakultas Ekonomi dan Magister Hukum (Ekonomi) Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan mendapat gelar Doktor Ilmu Komunikasi FISIP UI dengan fokus komunikasi politik.
Saat berkuliah di ITB, ia mulai aktif dalam gerakan kemahasiswaan dan sejumlah organisasi. Misalnya, Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM) ITB, Kodim Sabtu (Kelompok Diskusi Mahasiswa Sabtu), Badan Koordinasi Unit Aktivitas (BKUA) ITB, Majalah Ganesha ITB.
Pada masa Orba, Fadjroel sempat jadi tahanan politik dengan vonis tiga tahun penjara karena dianggap terlibat gerakan menuntut Soeharto turun. Salah satu aksi yang terkenal ia lakukan Gerakan Lima Agustus ITB (1989). Pria kelahiran 17 Januari 1964 ini sempat merasakan enam lapas berbeda, termasuk Sukamiskin (Bandung) dan Nusakambangan.
Pascareformasi, kekritisan Fadjroel terekam pada masa pemerintahan SBY. Pada 2009, Fadjroel, yang saat itu merupakan aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (Kompak), berunjuk rasa memprotes SBY yang terkesan membiarkan upaya penjegalan terhadap KPK, di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.
Lewat akun Twitter-nya, ia juga mengkritik presiden keenam itu yang hendak membeli pesawat kepresidenan sendiri dan mengaitkannya dengan utang pemerintah yang sudah mencapai Rp2.465,45 triliun pada Januari 2014.
Tak ketinggalan, Fadjroel juga mengkritik langkah SBY yang hanya membebastugaskan M Nazaruddin dari posisi Bendahara Umum Partai Demokrat karena terlibat kasus korupsi wisma atlet.
Dalam bidang perundangan, kekritisannya tersalurkan dalam hal gugatan uji materi sejumlah perundangan yang dianggap tak adil. Fadjroel, yang hendak maju sebagai capres independen pada Pemilu 2009, menggugat aturan pencapresan pada UU Pilpres ke Mahkamah Konstitusi.
Pasalnya, UU itu hanya mengizinkan capres dari alur parpol. Namun, uji materi atas pasal dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 tersebut ditolak majelis hakim MK pada 17 Februari 2009.
Selain itu, Fadjroel dan Gerakan Nasional Calon Independen mengajukan uji materi terhadap ketentuan soal syarat persentase calon kepala daerah independen dalam UU No. 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Ketentuan itu dinilai memberatkan para calon independen. MK kemudian mengabulkan gugatan itu.
Pada Pilpres 2014, Fadjroel ikut di dalam gerbong relawan Jokowi-Jusuf Kalla. Setelah meraih kemenangan, Fadjroel ditempatkan sebagai komisaris utama Adhi Karya. Hal yang sama terjadi pada sejumlah aktivis yang masuk gerbong relawan Jokowi.
Misalnya, Refly Harun (Komisaris PT Jasa Marga Tbk); Mustar Bonaventura (Komisaris PT Dahana); Andi Gani Nena Wea (Komisaris PT PP), Muradi (Komisaris PT LEN Industri); Andrinof Chaniago (Komisaris Bank BRI); Boni Hargens (Komisaris LKBN Antara).
Selain posisi komisaris, para aktivis yang jadi pendukung Jokowi juga mendapat tempat di Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Misalnya, Teten Masduki, Johan Budi, Ifdhal Kasim.
Mulai saat itu, Fadjroel tak banyak bersuara kritis. Misalnya, dalam hal penggunaan pesawat kepresidenan warisan SBY oleh Jokowi, korupsi di lingkaran kekuasaan dan parpol penguasa, hingga kasus pelemahan KPK.
Kedekatan Fadjroel, dan para mantan aktivis lainnya, dengan Istana ini pun dikritisi masyarakat sipil. Pasalnya, mereka bak hilang ditelan bumi saat mestinya mengkritisi ketidakadilan.
Sebagai contoh, Indonesia Corruption Watch (ICW) lewat akun Twitter-nya mengunggah delapan foto eks aktivis yang tak bersuara dalam kasus pelemahan KPK, termasuk Fadjroel Rahman, Teten Masduki, dan Johan Budi SP. (Red)