Oleh: Kasrum Hardin, Wasekum P3A HMI Komisariat Syari’ah dan Hukum
OPINI, TELIKSANDI.ID – Organisasi mahasiswa kini menjamur dan berserakan, bahkan teori pun gagal mengakumulasi menjadi keutuhan kerangka metode atas sekelumit penyampaian di forum perkaderan apa yang hendak ditularkan pada mereka anak-anak baru di kampus.
Mereka dikenal sebagai mahasiswa baru yang lugu dan lucu, sekaligus disana kita temui cita dan harapan orang tuanya, bahwa kelak anaknya berkultus selangkangan.
Masuk kampus ia akan disuguhi banyak media visual tentang kehidupan kampus dan itu banyak di sumbang oleh si pemberi harapan dan visi, salah satunya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), namun apakah Himpunan Mahasiswa Islam layak sebagai sandaran bagi mereka yang lucu dan lugu itu.
BACA JUGA: Gelar Dialog, PB HMI Bahas Pendidikan Nasional dan Sistem Zonasi
Penulis hampir lupa mengapa lebih menyebut mereka si lucu dan lugu itu, dilandasi dari dua argumentasi yang setidak-tidaknya menjadi alasan, pertama zaman terus bergerak, ia dimentori oleh kemajuan teknologi dalam hal ini sosial media menjadi satu medium interaksi atau alat komunikasi yang menampilkan entitas simbol yang jauh dari realitas diri seorang manusia.
Sebab ia representasi ketiga dari pikir difilter menjadi gambar lalu kemudian dikonsepsi oleh pikiran tanpa penjelasan primer dari pemilik objek atau siapa menggerakkan sosial media atau si pemilik akun, lugu bukan?
Kedua, yang melandasi pernyataan pertama sebuah teori gambar (The Picture teori) yang diperkenalkan Wittgenstein serta diulas dengan lugas oleh Dr. Muhammad Sabri AR. dalam bukunya yang berjudul ”Mengurai Kesenyapan Bahasa Mistik”, menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara bahasa dan realitas.
Jika melihat realitas hari ini, maka modernitas yang kemudian dikritik oleh postmodrenisme, menunjukkan bukti autentik bahwa antara simbol dan realitas ada kesinambungan nyata. Masalahnya kemudian, sosial media malah ada kontribusi citra hingga yang tampak bukan lagi keautentikan, tapi masuk pada masyarakat info yang terhegemoni virilitas berita atau konten dan apakah itu bukan generasi lugu?
Kini mereka masuk kampus dengan sejuta harap dan keterpesonaan terhadap simbol akan bahasa yang tergembor-gemborkan lewat kreativitas penghuni kampus, tujuannya tidak lain adalah ingin mendominasi paradigma satu dengan lainnya. Seperti misal UIN Alauddin Makassar dengan simbolisasi peradaban dan didalam-nya ada organisasi bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan slogan Yakin Usaha Sampai, apakah tak keren?
Mari kita bedah tanpa pamrih, terlepas penulis adalah kader yang membenci gerak dialektis himpunannya, sebab ‘seorang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran apalagi perbuatan’ setidaknya itu kata Bung Pram. Apakah semua sekeren slogannya?
BACA JUGA: HMI Minta Kejati Banten Tak ‘Berselingkuh’ dengan Penguasa, Ada Dugaan Penjarahan Uang Rakyat
Himpunan Mahasiswa Islam berdiri 2 tahun setelah republik ini memproklamirkan kemerdekaannya oleh Bung Karno dan Bung Hatta, tepatnya tahun 1947 dengan visi keislaman dan misi kebangsaan begitulah kata tuan Cak Nur.
Betulkah HMI seperti niat pendirinya dulu oleh Lafran Pane? Ini kenapa penting si lugu plus lucu wajib membacanya. Jika bertanya apa kabar HMI? tanpa pikir panjang, jawabannya adalah sedang tidak baik-baik saja.
Ia berubah menjadi picik dan licik, buktinya adalah dualisme kepengurusan dan konferensi cabang lama seperti protes di cabang Medan dan cabang Gowa Raya yang masih berlangsung hingga kini. Sekalipun bukan riset, tapi bisa dipastikan, karena terlalu lama duduk cantik picik nan licik di warung kopi dan pelakunya siapa lagi kalau bukan kader-kadernya yang selalu menjagokan organisasinya.
Sadar atau pun tidak, inilah mereka perusak-perusak itu. Adik-adik mahasiswa baru, ini penting engkau ketahui agar tak kaget bahwa kehebatan kadernya hanya dalam rangka kaderisasi, selain itu ia berubah menjadi binatang-binatang buas menunggu mu lelah untuk menerkam hingga mati terkoyak-koyak hina.
Pesan saya ‘jangan bergabung di HMI’ jika ingin belajar dan menjadi cerdas, sebab ia tak sebaik dulu. Jika engkau masuk, maka bersiaplah kaya retoris tapi miskin kualitas, sebab retorika hanya simbol-simbol bunyi yang gagal menyentuh persoalan.
Oleh Lafran Pane, 3 aspek penting tentang HMI adalah Dimensi Teologis, Dimensi Intelektual dan Dimensi Politik Kebangsaan.
Tidak ada yang salah dari ketiga aspek tersebut, sebab penuh pertimbangan matang oleh Lafran Pane (Fikri, 2018).
Namun, HMI gagal membaca isu seperti yang baru terjadi pesta demokrasi 5 tahunan tersebut, HMI gagal menjadi patron gerakan penyeimbang serta penyejuk bagi kehidupan berbangsa.
Mengapa demikian? Karena kadernya sibuk berkonflik internal, diskusinya terputar pada wilayah internalisasi saja, sehingga gerakannya semu dan tak menyentuh persoalan terhadap aspek niatan pendirinya yang kemudian telah bergelar pahlawan Nasional. Itulah kenapa berat jika ingin ber-HMI, untuk itu ikutilah saran saya.
Aspek keislaman dan kebangsaan gagal menjadi realitas perbuatan dan wacananya indah tak bermakna.
Penulis: Kasrum Hardin, Wasekum P3A HMI Komisariat Syari’ah dan Hukum.
(Tulisan tersebut diatas adalah tanggung jawab penuh penulis)