JAKARTA | Teliksandi.id – Semakin banyak kelompok pergerakan dibuat, semakin meyakinkan apa yang hendak dicapai itu pun menyelamat bangsa dan negara dari keamrukan jadi sulit tercapai. Yang terjadi justru kesan kegafuhan dan kesemrautan dari pola gerakan yang tidak vokus dan tidak mengerucut pada satu tujuan dengan derap langkah serta gerakan bersama yang kompak dan solid.
Polarisasi gerakan seperti yang sudah lama terjadi di kalangan buruh dan serikat buruh di Indonesia.
Istilah yang sering diucapkan Benny Akbar Fatah adalah semacam lomba balap karung yang membudaya seperti untuk memeriahkan acara perayaan tujuhbelasan pada sermtiao kali menyambut hari peringaran kemerdekaan RI.
Ketika KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) dimaklumatkan, tak hanya komentar miring yang muncul dan gaduh berseliwer di media sosial, tapi juga kelompok atau semacam fraksi lain pun tampil mendeklarasikan diri dengan visi dan missinya masing-masing. Meski semuanya mengklaim untuk memperbaiki carut marut negeri ini.
Dalam menyikapi RUU Omnibus Law saja misalnya, tidak semua buruh dan serikat buruh bisa kompak bersikap, walau sama-sama menyatakan menolak model draf Omnibus Law khususnya Cipta Kerja yang dianggap hendak menjerat leher buruh maupun derap langkah serikat buruh.
Begitulah kesan balap karung dari berbagai elemen pergerajan di negeri yang tengah membabgun ini, tak cuma infrastruktur saja, tapi juga bentuk dan model dari suprastrukturnya pun masih mencari bentuk.
Jangan-jangan, pola gerakan berbagai elemen, aliansi dan koalisi itu sebdiri memang sedang mencari bentuk juga, kalau pun tidak pas disebut sedang mencari sikap dan watak dari jati dirinya yang sejati dan otebtik.
Agaknya itu sebabnya kaum pelajar, nahasiswa, ajademisi, pegiat sosial kemasyarakatan, beragam aktivis dari berbagai jurus dan bidabg yang menjadi perhatiannya, sulit disatukan seperti gerakab kaum buruh dan serikat buruh. Bahkan kelompok dan faksi yang muncul terkesan semakin banyak, hingga makin sulit dipilih, mana yang otebtik dan murni hendak berjuang memperbaiki kondisi dari kehidupan rakyat agar bisa lebih baik dalam arti kesejahteraan yang berkeadilan serta lebih beradab serta lebih manusiawi.
Realitasnya memang begitu. Meski tak pula sedikit kalangan mahasiswa dab ajtivis lingkungan serta demokrasi maupun aktivis dari hak-hak asasi manusia yang ikut berteriak lantang pada bahayanya Omnibus Law Cipta Kerja bila terus dipaksakan hendak diberlakukab di Indonesia. Sebab Omnibus Law itu tak hanya mengobok-obok masalah buruh dan serikat buruh, tapi juga banyak sektor dan bidang pekerjaan lainnya yang ikut diaduk-aduk dalam satu bus iru.
Fenomena dari bertumbuhannya lembaga sosial kemasyarakatan menjadi semakin marak dan liar kesabnya sejak refornasi tahun 1998. Setidaknya, wajah dari organisasi buruh pun cuma hitam dan saja adanya. Istilah populer di kalangan buruh dunua itu ada yang disebut serikat vuruh kuning dan serikat buruh putih.
Inilah sebabnya pada tahun 2004 silam kawan-kawan aktvis dari berbagai bidang dan latar belakang berhimpun bersama Klinik Hukum Merdeka yang bermarkas di Komplek Bina Marga Kawasan jalan Pramuka Raya Jakarta menggulurkan forum diskusi setiap Kamis dengan mengundang beragan tokoh dari beragam ilmu maupun latar belakang profesi bahkan beragam latat ideologi. Meski sempat ramai dan marak mendapat sambutan, toh runusan dari kesan ingin terus melakukan balap karung tadi, justru thesisnya dikukuhjan Kang Benny Akbar Fatah dari forum ini, yang lahir dan dibidani oleh kawan-kawan di Klinik Hukum Merdeka tahun 2004 silam.
Itu yang membuat saya kangen dan romantis berharap kebersamaan dari kaum pergerakan yang kompak. Bukan bernafsu ingin balap karung.
Banten 29 Agustus 2020.