KALIMALANG | Teliksandi.id – Istilah balap karung yang digrendengin Kang Eben (Benny Akbar Fatah) tahun lalu masih juga jadi tajuk bincang dk sela minum kopi bersama kalangan aktivis kaum pergerakan.
Ya, itulah realitasnya, meski sudah lebih dari 15 tahun, toh penyakit bawaan para aktivis itu tak sembuh juga. Sementara Kang Eben yang melontarkannya dulu, kini cuma senyum-senyum seperti mengejek diriku aku juga. 3 September 2020
Gejala “balap karung” itu ternyata seperti Covid-19 yang mengerikan meski tak jelas juntrungannya. Semua mau duduk paling depan, meski ada yang lebih layak dan lebih pantas dan lebih terhormat untuk menempatinya.
Dari pemahaman serupa itu saya baru paham apa sebetulnya yang dimaksudkan dari istilah yang digrendengin Kang Eben dengan balap karung itu.
Agak menyesal juga pada perayaan tujubelasan kemarin tidak sempat menyaksikan acara balap karung di lapangan desa yang sempat dilakukan. Sementara tradisi balap karung di kalangan aktivis semakin tidak jelas dan sulit dipahami.
Belum lagi selirih dinda Anni yang belagak bertanya pada saya. Sebetulnya yang dimaksud senangat dari mansjemen sopir oplet itu sih Bang, kata Anni dengan mimik muka serius. Meski saya tahu pertanyaan itu sekedar melengkapi sikap usilnya yang selalu menggoda akal sehat agat tetap terjaga dan prima dari terpaan angin politik peninggalan jaman lampau.
“Sekarang kan jamannya generasi milineal yang memiliki banyak fitur maupun pilihan lain”.
Lantas itukah maksudnya tak elok untuk terus memaksakan kehendak sendiri seperti balap karung yang terseok-seok atau bahkan jumpalitan kayak kuda lumping kesurupan ?
Sungguh, aku semakin tak paham. Aku semakin merasa terasing di tengah kaum milineal yang happy-happy saja minum kopi dan santai di Taman Amir Hamzah, Matraman Jakarta Pusat. (*)