Jakarta | Teliksandi.id – DPR dan Pemerintah mengesampingkan Ideologi Bangsa dan UUD 1945, kepentingan rakyat tidak lagi menjadi prioritas, pengesahan revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara ditengah pandemi Covid 19 semakin menambah luka mendalam rakyat Indonesia, Negara serasa di jual kepada korporasi kepentingan Neokolonialisme.
Agus Yusuf, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) SAPU JAGAD menyikapi hal tersebut, menjelaskan “Pengesahan UU Minerba membuka ruang lebar Neokolonialisme guna mencengkeram praktik Kapitalisme Globalisasi untuk mengontrol dan mengendalikan Negara Kesatuan Republik Indonesia” Jelas Agus Yusuf. di Kantor Sekretariat DPN SAPU JAGAD Jl. Gunung Sahari III, Jakarta Pusat. (Kamis, 21/05/2020)
Amanat cita-cita UUD 1945 dan Proklamasi 17 Agustus 1945, bertujuan menciptakan masyarakat adil makmur, yang didalamnya Pasal 33 UUD 1945 bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal ini jelas, Larangan Penguasaan Sumber daya alam secara perorangan ataupun monopoli perusahaan swasta, apalagi perusahaan asing. Disinilah fungsi penting pemerintah melindungi negara dan rakyat Indonesia. maka UU Minerba tidak syah apabila bertentangan dengan prinsip pasal 33 UUD 1945.
“Sudah jelas bahwa Negara akan tergadaikan dengan UU Minerba, membuka ruang ekploitasi dan eksplorasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam Indonesia” Ungkap Ketua Umum DPN SAPU JAGAD.
UU Minerba Mengesampingkan Kepentingan Rakyat dan Melanggar amanat UUD 1945, pengelolaan pemerintahan menjadi pragmatis, dasar yang dipakai terkesan hanya pada untung rugi tanpa ideologi.
UU ini seluruh kebijakan terkait mineral dan batu bara ditarik ke pusat. Daerah hanya kebagian izin eksploitasi koral dan pasir. disahkannya UU tersebut menghilangkan eksistensi otonomi daerah.
“Nasionalisasi Aset Negara hanya akan menjadi mimpi belaka, Tanah air kita dan sumber daya alam NKRI akan di menjadi jarahan segelintir kaum kolonialisme para pengusaha minerba” Jelas Agus Yusuf. (21/05)
Dengan UU Minerba yang baru, Rasanya Tanah Air kita dan Negara kita akan benar-benar dijual, Perusahaan batu bara dengan beberapa syarat tertentu bisa beroperasi hingga 60 tahun, bahkan hingga 80 tahun, juga berlaku bagi perusahaan tambang logam yang terintegrasi pabrik pemurnian smelter.
“Rakyat harus kritis menyikapi hal ini, NKRI baru merdeka 74 Tahun sudah mau di eksploitasi dan ekplorasi oleh korporasi asing dan swasta sampai 80 Tahun kedepan, maka Mimpi Nasionalisasi Aset Negara Sirna dalam UU Minerba, Selamat Datang Neo Kolonialisme dan Neo Imperialisme” Sindir Ketua Umum DPN SAPU JAGAD.
UU Minerba akan benar-nenar membungkam dan menindas masyarakat sekitar jika berani kritis menolak tambang, bahkan juga membuka ruang korupsi dalam birokrasi untuk mendapatkan pemberian proses izin tambang.
“Suatu saat akan terjadi lagi, Rakyat dipaksa menjadi pengemis di Negeri sendiri, Lalu mengatakan Penjajah itu baik hati, karena telah memberi sepotong roti” Pungkasnya. (Red/Kotak)
Menjadi bahan kajian, beberapa pasal kontroversial yakni antara lain, sebagai berikut;
1. Pasal 1 ayat (13a) Ada ketentuan baru bernama Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB), yakni izin yang diberikan untuk melaksanakan kegiatan usaha pertambangan batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu. Pasal ini dinilai membuka ruang rente baru.
2. Pasal 1 ayat 28a.
Pasal ini mengatur bahwa Wilayah Hukum Pertambangan adalah seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen. Definisi yang baru ada di UU anyar ini mengancam ruang hidup masyarakat karena seluruh kegiatan, mulai dari penyelidikan hingga pertambangan masuk dalam ruang hidup masyarakat.
3. Pasal 4 ayat 2.
Pasal ini mengatur bahwa penguasaan mineral dan batu bara diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Dalam UU lama, pasal itu juga memberikan kewenangan untuk pemerintah daerah. UU Minerba baru ini mengatur semua kewenangan perizinan tak lagi ada di pemerintah daerah, melainkan ditarik ke pusat. Sentralisasi ini dinilai bertentangan dengan semangat otonomi daerah.
4. Pasal 22.
Pasal 22 huruf a dan d tentang kriteria menetapkan WPR telah membuka ruang bagi penambangan di sungai dengan luas maksimal 100 hektar, setelah mengubah luas maksimal sebelumnya 25 hektar.
5. Pasal 42 dan Pasal 42A.
Pasal ini dianggap mempermudah pengusaha pertambangan mineral dan batu bara dalam menguasai lahan dalam jangka waktu yang lebih lama untuk keperluan eksplorasi. Sebelumnya waktu yang diberikan untuk eksplorasi adalah 2 tahun. Dengan UU baru, pengusaaan tanah dalam skala besar oleh pengusaha tambang setidaknya 8 tahun dan dapat diperpanjang satu tahun setiap kali perpanjangan. Penguasaan lahan lebih lama ini dinilai berpeluang untuk land banking.
6. Dihapusnya Pasal 83 ayat (2) dan (4) UU Minerba Lama.
Pasal 83 ayat (2) UU Minerba lama mengatur batasan luas WIUPK untuk produksi pertambangan mineral logam paling banyak 25 ribu hektare. Adapun Pasal 83 (4) UU lama menyebut batasan luas WIUPK untuk produksi pertambangan batu bara paling banyak 15 ribu hektare.
7. Pasal 162 dan 164.
Dua pasal ini dinilai membuka peluang kriminalisasi terhadap warga penolak tambang. Pasal 162 menyebut bahwa “Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Adapun Pasal 164 mengatur soal sanksi tambahan bagi orang yang dimaksud dalam Pasal 162. Sanksi tambahan itu berupa perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.
8. Dihapusnya Pasal 165 UU Minerba Lama.
Pasal 165 dalam UU Minerba lama memuat sanksi pidana bagi pejabat yang korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Pasal itu menyebut, “Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah).”
Namun ketentuan ini hilang dalam UU baru. Sejumlah pihak menilai hilangnya UU ini membuka celah bagi korupsi di bidang minerba.
9. Pasal 169A.
Pasal ini mengatur tentang perpanjangan kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) tanpa melalui lelang. KK dan PKP2B diberi jaminan perpanjangan otomatis 2×10 tahun tanpa harus mengurangi perluasan wilayahnya. Padahal, UU yang lama mengatur kawasan harus dikembalikan kepada negara setiap habis kontrak dan dilelang ulang. Pasal dalam UU anyar ini dinilai membuka celah perpanjangan sejumlah perusahaan raksasa minerba yang akan selesai masa kontraknya.
10. Pasal 169B ayat (5).
Pemegang KK dan PKP2B dalam mengajukan permohonan IUPK sebagai kelanjutan Operasi Produksi Kontrak/Perjanjian dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi kepada menteri untuk menunjang kegiatan usaha pertambangan. Pasal ini dianggap memberikan keistimewaan bagi pemegang IUPK untuk mendapatkan konsesi tambahan.