Teliksandi.id – Alkisah, hasil penelitian CIPG, buzzer mulai lahir bersamaan dengan kelahiran Twitter pada 2009. Sebagai salah satu strategi marketing, buzzing berubah untuk mendongkrak elektabilitas dan popularitas tokoh atau partai politik. Karena itu, buzzer atau pendengung bersembunyi di balik topeng dan mengatasnamakan dirinya sebagai suara publik di media social (Medsos).
Dalam konteks ini bisalah segera dipaham betapa pentingnya medsos. Buzzer yang lahir bersamaan dengan Twitter pada 2009, hanya sebatas untuk mensiasati strategi pemasaran guna mempromosikan suatu produk guna mendongkrak penjualan. Toh, akhirnya buzzer terus merangsek masuk wilayah politik. Di Indonesia mulai pada tahun 2012 ketika pasangan Jokowi-Ahok menggunakan pasukan media sosial untuk mendorong segala wacana atau isu politik. (CNN Indonesi, Kamis, 10/01/2019).
Buzzer terus semakin ngetrend di tanah air saat Pilkada Jakarta tahun 2012. Ketika itu pasangan Jokowi Ahok berhasil menang dengan mengerahkan “pasukan medsos” bernama Jasmev, atau Jokowi Ahok Social Media Volunteer,” kata pengamat media sosial Pratama Persadha. Fungsi buzzer kemudian kembali memainkan peran saat Pipres 2014. Menurut Pratama Persadha kedua paslon itu menang karena menggunakan buzzer.
Rahaja Baraha yang juga mantan buzzer mengakui pertama kali penggunaan buzzer itu sebetulnya saat Pilpres 2009. Namun saat itu, penggunaan buzzer masih sangat minim. Dan ingat, Twitter masuk Indonesia tahun 2009 baru mulai heboh buzzer. Meski pada Pilpres tahun 2009 belum terlalu banyak dan masih kurang popular.
Tercatat pula peran buzzer saat Pilkada DKI Jakarta 2012, hingga kemudian kembali digunakan pada Pilpres 2014. Para buzzer pun mendapat lahan basah dan subur, sekaligus tak berkutik untuk menolak ajakan dan tawaran dari para tokoh politik maupun dari partai politik. Lalu influencer juga ditarik buat bantu menggiring opini hingga berlanjut pada pilpres 2014.
Peneliti CIPG Rinaldi Camil mengatakan para influencer di media sosial memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi suara publik. Misalnya dengan kemampuan yang mereka memiliki untuk membentuk opini publik. Dan influencer bisa menjalankan peran sebagai buzzer, tapi tidak semua influencer itu adalah buzzer. Influencer bisa disebut buzzer ketika ia memviralkan pesan. Kapabilitas itu dimiliki oleh influencer karena ia punya pasukan buzzer dan juga dianggap memiliki kapabilitas yang mumpuni.
Kekuatan besar yang mereka miliki ini membuat penetrasi isu-isu politik yang digaungkan buzzer menyebar dengan cepat. Pratama Persadha mengatakan media sosial juga mejadi alat terbaik untuk memberikan konten-konten tepat sasaran kepada khalayak. “Algoritme seluruh media sosial juga membuat konten-konten pesanan menjadi tepat sasaran dan efektif kepada khalayak yang hendak dituju”, katanya. Media sosial menjadi tempat yang nyaman karena algoritme mengatur konten yang pengguna sukai. Fenomena ini dinamakan Echo Chamber yang berarti pengguna media sosial berada di lingkungan pertemanan yang berpikiran serupa.
Agakanya dalam konteks seperti itulah para buzzer di Indonesia semakin leluasa bermain dan diperlukan peranannya. Setidaknya dalam kegaduhan pembahasan RUU (Rancangan Undang-undang) Omnibus Law Cipta kerja — yang sempat disebut-sebut dengan istilah RUU “Cilaka” itu – buzzer dan infliencer dari kalangan pemusik muda Indonesia – yang tak tahu menahu ikhwal Omnibus Lawa — dimanfaatkan guna memuluskan pembahasan dan pengesahan Omnibus Law yang sedang gigih ditentang oleh kaum buruh dan serikat buruh. Tentu saja iming-iming ketenaran itu juga ada duitnya meski sedikit.
Berlakangan para pemusik muda itu pun menyesal dan memintan maaf kepada publik secara terbuka melalui media sosail pula. Jadi – sekali lagi – betapa besarnya peranan media social sehingga kekeliruan itu bisa segera dimintakan permaafannya. Bahkan untuk meyakinkan publik bahwa dukungan yang tak jelas terhadap Omnibus Law itu pun langsung disusul oleh pengembalian uang yang sudah terlanjur pula diterima. Hanya saja memang — karena mungkin pula ada kode etik perbuzzeran – pihak yang memberi dan menerima pengembalian uang pembayaran itu tidak sempat diungkap.
Namun yang pasti dapat disimpulkan diantaranya adalah betapa mendesaknya RUU Omnibus Law itu untuk disahkan agar dapat segera diberlakukan di Indonesia. Padahal kaum buruh dan serikat buruh telah serak berteriak, Omnibibus Law itu sangat mengancam hidup dan masa depan kaum buruh. Berikutnya tentu saja betapa hebatnya sosok yang disebut buzzer maupun influencer itu, sehingga diajak ikut bermain di ranah hokum dan politik, terlepas dari paham atau tidaknya mereka yang diperalat untuk menjadi juru kampanye Undang-undang yang seharusnya dibahas bersama-sama warga masyarakat yang merasa sagat berkepentingan bila kelak diberlakukan.
Seperti dirilis KOmpas.Com (15/08/2020), musisi muda Ardhito Pramono mengaku telah mengembalikan uang yang diterimanya dari membuat unggahan dengan tanda pagar (tagar) #IndonesiaButuhKerja di Twitter. Ia mengembalikan uang yang diterimanya karena tidak tahu ternyata kampanye #IndonesiaButuhKerja terkait dengan omnibus law atau RUU Cipta Karya.
Fenomena Influencer, mulai dari Iklan hingga Promosi RUU Cipta Kerja (Kompas.com, 16/08/2020) terkait dengan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang menyeret sejumlah artis dan influencer. Mereka mempromosikan RUU tersebut melalui video berdurasi pendek yang diunggah ke akun media sosial dengan tagar #IndonesiaButuhKerja. Seperti diberitakan Kompas.com, (15/8/2020) figur publik yang mempromosikan tagar tersebut di antaranya Gritte Agatha, Fitri Tropika, Gading Marten, dan Gisela Anastasia. Ada pula Ardhito Pramono, Cita Citata, Inul Daratista, Boris Bokir, hingga Gofar Hilman. Namun, promosi yang dilakukan para artis ini justru menuai kritik dari banyak warganet. Mereka menilai, para figur publik tidak memahami perasaan para pekerja yang sedang berjuang agar RUU Cipta Kerja tidak disahkan.
Pergeseran cara beriklan Setelah kehadiran media sosial dan figur-figur publik di dalamnya, iklan konvensional dianggap tidak lagi organik, termasuk juga akun media sosial yang bersifat sponsored cenderung dihindari pengguna media sosial. Memang di media sosial, bertebaran akun-akun influencer dengan jumlah pengikut mulai dari ribuan hingga jutaan yang mengunggah konten-konten endorsement, seperti produk makanan, kecantikan, dan juga pakaian. Bermula dari fenomena ini maka keberadaan influencer yang difasilitasi media sosial menunjukkan adanya pergeseran dalam strategi komunikasi pemasaran.
Ya, demikianlah lapangan pekerjaan (baru) bagi buzzer dan influencer telah membuktikan bisa merambah dan merayap wilayah hukum, politik hingga budaya kita. Seperti ikhwalnya kapitalisme yang bermula dari sektor ekonomi, realitasnya sekarang di Indonesia sudah merusak ke semua sektor kehidupan kita.
Penelitian Oxford University mengungkap buzzer Indonesia untuk menyebar propaganda pro-pemerintah, pro-partai, menyerang oposisi, dan menciptakan polarisasi. (CNN Indonesia, Minggu, 06/10/2019). Penelitian berjudul ‘The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation’ yang digarap oleh Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard itu menyebutkan Indonesia menjadi satu dari 70 negara yang menggunakan pasukan siber alias buzzer untuk sejumlah kepentingan sepanjang 2019.
Dalam laporan setebal 23 halaman itu menyebutkan sejumlah pihak di Indonesia yang menggunakan buzzer adalah politisi, partai politik, dan kalangan swasta. Meski tidak secara spesifik menyebut nama atau partai politik di Indonesia yang dimaksud, penelitian itu membeberkan setidaknya ada tiga tujuan yang diincar para buzzer, yakni menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro-partai, menyerang oposisi, hingga membentuk polarisasi.
Kesimpulan berikutnya dari paparan ini mengingatkan kepada semua elemen pergerakan – tak hanya buruh dan serikat buruh – bahwa media social itu jika pun dianggap tak perlu ada juga buzzer dan influencer – patut menjadi perhatian agar dapat juga dimanfaatkan secara maksimal untuk mendukung dan memperkuat langkah-langkah perjuangan. Tak perlu – bahkan tak layak merasa kecewa – ketika melakukan suatu kegiatan jadi sepi dari pemberitaan media maenstrem karena beranggapan bahwa didalamnya masih ada nilai-nilai idealismenya yang permanen tetap berpihak pada rakyat yang selalu ditindas.
Media maenstrem pada era milineal dan digital sekarang ini tengah terguncang juga oleh budaya milineal dan digital yang tengah tersuruk masuk diantara ketiak neoliberal yang lebih kejam dan rigit penindasannya terhadap siapa saja yang lemah. Dan satu diantara takarannya adalah uang. Itulah sebanya Omnibus Law itu dianggap penting dan perlu. Juga untuk itu pun tak segan harus mengeluarkan banyak uang. Jakarta, 26 Agustus 2020. (*)