Rian Hepi Pegiat Media Sosial
OPINI, TELIKSANDI.ID – Pernyataan judul diatas bukan berarti hanya Subyektif, tapi lebih berorientasi kearah obyektivitas para pekerja Pers dan Instansi pemerintah.
Bersih adalah sebuah homonim karena artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda. Bersih memiliki arti dalam kelas adjektiva atau kata sifat sehingga bersih dapat mengubah kata benda atau kata ganti, biasanya dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi lebih spesifik.
Dalam pemerintahan bersih bermakna tidak menyimpang, atau sesuai aturan. Jadi sudah jelas bersih di sini bermakna bukan hanya sistemnya saja, namun bermakna kearah personal, atau pelaku pemangku kepentingan.
BACA JUGA:
- Dirasa Lamban Seperti Siput, LSM LAPAAN RI Menilai Pembangunan Masjid Taman Sriwedari Solo Sakit Berat
- Warga Karungan Geram, Dana Budidaya Belut dari Anggaran DD Diduga Diselewengkan Oleh Kades
Sementara risih sendiri mengandung arti kata perasaan tidak nyaman terhadap sesuatu atau seseorang, biasanya hal ini lebih berpengaruh pada kondisi internal atau suasana hati. Dan lebih parah lagi jika mengalami kondisi kejiwaan xenophobia.
Xenophobia adalah ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang asing, beberapa definisi menyatakan xenophobia terbentuk dari keirasionalan dan ketidak masuk akalan. Berasal dari bahasa Yunani (xenos), artinya “orang asing”, dan (phobos), artinya “ketakutan”.
Nah di sini sudah jelas, jika ada instansi yang merasa terusik dengan kehadiran kaum pengontrol sosial, seperti insan pers maupun pegiat anti korupsi, tak dapat di pungkiri mereka akan mengalami ketakutan yang akut, bahkan cenderung melawan dengan dalih apapun. Jika mereka para pemangku kepentingan tidak bersih, secara otomatis akan risih.
Padahal jika kita menengok kebelakang lahirnya UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Pasal 18 Ayat 1 disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda sebanyak Rp 500 juta.
Begitu juga Peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi diwujudkan dalam bentuk antara lain mencari, memperoleh, memberikan data atau informasi tentang tindak pidana korupsi dan hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Korupsi.
Coba kita ulas dan melihat PP Nomor 43 Tahun 2018, peran serta masyarakat mendapat penghargaan dalam mencegah tindak pidana korupsi hanya akan menjadi slogan yang tidak berarti, jika hanya kehadiran di sebuah instansi dianggap meresahkan, kenapa harus resah? tidak bersihkah? hanya dugaan-dugaan saja yang mengalir, hingga kambing hitam menjadi fenomena dengan sebutan Wartawan Bodrex, sebutan itu muncul diawal tahun 2008 yang menggambarkan iklan Bodrex obat sakit kepala, aktor Dede Yusuf dengan di kawal ratusan orang berbondong-bondong seperti pasukan.
Penafsiran bodrex sendiri oleh rekan senior saya, pernah berspekulasi mengartikan Bodong Experimen (tidak punya legal dan tidak jelas), padahal peran serta masyarakat tidak perlu legalitas, jika menyimpang masyarakat perlu bertindak, dan jadi jangan takut karena juga di lindungi Undang-undang.
Sementara abal Abal
sama dengan ecek-ecek atau palsu, tiruan, murahan. biasanya digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang tidak berkualitas. Ada juga yang menyebutkan Aslinya adalah kebalikan dari kata laba-laba. tapi biasanya dipakai untuk menunjukkan ketidak becusan, kekurang tahuan seseorang ataupun hal-hal jelek lainnya.
Namun lain lagi dengan bahasa adat di Batak Toba, Abal-abal yang artinya dibuat dari satu buah kayu utuh (hau sada), pada umumnya pemilik peti mati ini sudah memesan terlebih dahulu sebelum meninggal.
Ulasan di atas, Saya hanya mempertegas arti kata bersih, risih kemudian resah, yang akhirnya mencari celah dengan bahasa bodrex dan abal-abal. Hanya berdalih dengan menutupi keresahan yang melanda dalam tubuh mereka. Akhir-akhir ini memang masih dalam pergunjingan dan hangat di salah satu kabupaten Jawa Tengah, seperti di lingkup instansi pemerintah sebut saja Pemerintah Desa dan Pendidikan.
Lupakah dengan himbauan Presiden? Penggunaan Dana Desa Harus Terus Diawasi, begitu juga dunia pendidikan lupakah jika masyarakat juga berperan dalam pengawasan tindak pidana korupsi? ingat PP Nomor 43 Tahun 2018, apakah insan pers juga bukan masyarakat? para pegiat anti korupsi apakah juga bukan masyarakat? yang harus memiliki legalitas jelas?
yang berhak menjustice legal dan tidaknya para pekerja pers adalah Redaksi masing-masing, bukan yang lain. Dan perusahaan pers juga harus memenuhi syarat badan hukumnya.
Agar para pelaku Pers juga tidak takut untuk memberantas korupsi, dan tidak perlu mundur jika memang tidak bersih, Negara tetap menjamin keamanan para pelapor korupsi. Jadi jika ada intimidasi saya harap para pegiat anti korupsi jangan takut, siapa yang tidak bersih akan risih, siapapun yang menyimpang akan resah.