OPINI, TELIKSANDI.ID – Seorang penanggung jawab yang juga menulis berita, Ismail Novendra sedang menghadapi persidangan. Dia didakwa melakukan pencemaran nama baik dan diperberat dengan fitnah.
Media yang digunakan adalah cetak karena itu penyidik gunakan Pasal 310 ayat (2) Jo. Pasal 311 KUHP. Pencemaran nama baik dengan tulisan ancamannya 1 tahun dan 4 bulan.
Dakwaan lainnya adalah menyebarkan fitnah Pasal 311 KUHP dengan ancaman maksimal 4 tahun penjara. Kedua pasal ini sama persis didakwakan pada kasus Obor Rakyat.
Pertanyaannya adalah kenapa kasus Tabloid Jejak News disidik sama persis dengan Obor Rakyat? Apakah keduanya bukan perusahaan pers sebagaimana yang dilindungi UU Pers?
Sengketa pemberitaan Obor Rakyat dengan Jokowi lima tahun silam memang direkomendasikan menggunakan hukum di luar UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers.
“Dasar hukum rekomendasi adalah karena Tabloid Obor Rakyat diterbitkan tanpa Badan Hukum. Padahal badan hukum adalah syarat wajib yang diatur UU Pers”
Apakah Jejak News sama persis dengan Obor Rakyat? Ternyata tidak, Jejak News memiliki badan hukum sesuai Pasal 1 angka 2 dan Pasal 9 ayat (2) UU Pers.
Lalu, kenapa pasal yang digunakan Polda Sumatera Barat dengan Polda Metro Jaya sama persis, yaitu Pasal 310 ayat (2) Jo. Pasal 311 KUHP dan untungnya tidak bisa ditahan.
Ternyata Polda Sumbar saat penyidikan mendapat keterangan ahli yang menyatakan hasil karya wartawan belum mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) bisa gunakan pidana umum.
Berdasarkan keterangan ahli yang konon katanya dari Dewan Pers itulah, penanggung jawab Jejak News dipidanakan dengan pasal pasal dalam KUHP.
Saat persidangan berjalan ternyata jaksa penuntut umum (JPU) mengalami kesulitan menghadirkan ahli dari Dewan Pers yang konon merekomendasikan kasus ini dengan pidana umum.
Setelah berulang kali tidak dapat dihadirkan, akhirnya hadir juga ahli dari Dewan Pers, namun yang hadir bukan pemberi keterangan ahli awal.
Rustam Fachri hadir atas rekomendasi dari Dewan Pers dan dalam keterangan ahlinya sebagaimana dikutip berbagai media “Bahwa UKW tidak menjadi dasar hilangnya perlindungan hukum terhadap Wartawan”
Saya mengenal Rustam Fachri sejak zaman beliau masih aktif di Tempo. Kami kemudian bertemu pada Pelatihan Ahli Pers di Surabaya tahun silam, kapasitasnya memang ahli.
Apa yang disampaikan Rustam Fachri seperti saya baca pada sejumlah media sesuai dengan pelatihan ahli pers Dewan Pers. “Bila terjadi sengketa pemberitaan yang harus diperhatikan adalah Badan Hukum Media”
Jadi, sepanjang media memiliki badan hukum sebagaimana diwajibkan UU Pers maka sistem pertanggungjawabannya tunduk patuh pada UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers.
Dakwaan sudah terlanjur dengan menggunakan KUHP. Ada dua jalan untuk bebas. Berdasarkan Pasal 310 ayat (3) KUHP, Ismail bisa membuktikan bahwa yang ditulis adalah untuk kepentingan umum.
Namun majelis juga bisa membebaskan Ismail karena JPU salah menerapkan hukum. Pertimbangan putusan ini, setelah majelis hakim mendengar keterangan ahli sebagaimana SEMA 13 tahun 2008.
Kasus Obor Rakyat justru kebalikannya. Penulisnya memiliki sertifikat uji kompetensi wartawan atau UKW, namun perusahaannya tidak berbadan hukum.
Melihat contoh kasus di atas dapat disimpulkan pentaatan terhadap UU lebih diutamakan daripada peraturan di bawahnya. Hal ini bukan berarti UKW tidak penting tetapi bukan dasar atas perlindungan wartawan.
Sepanjang wartawan melakukan kegiatan jurnalistik pada Perusahaan Pers berbadan hukum sesuai perintah UU Pers, dia tetap mendapatkan perlindungan Hukum.
Merdeka…!!!
(Kamsul Hasan Ketua Komisi Kompetensi PWI.Pusat)
Sumber: harianpelita.co