JAKARTA — Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Kamis pagi bergerak melemah 56 poin menjadi Rp 14.441 dibanding posisi sebelumnya Rp 14.385 per dolar AS.
Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada di Jakarta, Kamis, mengatakan, rupiah kembali melemah meski terdapat sejumlah sentimen positif dari dalam negeri belum terespons dengan baik. Hal ini dapat membuka peluang pelemahan lanjutan.
“Tidak berbeda dengan sebelumnya di mana masih rentannya rupiah menghalangi potensi kenaikan lanjutan sehingga perlu dicermati berbagai sentimen, terutama pergerakan sejumlah mata uang global terhadap dolar AS,” ujar Reza.
Imbas terapresiasinya dolar AS sebelumnya masih dirasakan rupiah yang masih cenderung melemah. Sentimen dari dalam negeri berupa disetujuinya sejumlah asumsi dasar makro RAPBN 2019 tampaknya belum menjadi sentimen yang dapat mengimbangi penguatan dolar AS. Akibatnya, rupiah masih terdepresiasi.
Asumsi RAPBN 2019, antara lain, pertumbuhan ekonomi 5,2-5,5 persen, laju inflasi 2,5-4,5 persen, dan nilai tukar rupiah di kisaran Rp 13.700-Rp 14.000 per dolar AS.
Di sisi lain, terapresiasinya dolar AS terjadi seiring dengan pelemahan yuan dan dolar Australia pascapemerintahan Trump akan memberlakukan 10 persen tarif impor Cina senilai 200 miliar dolar AS dalam konflik perdagangan yang meningkat.
Senada dengan rupiah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis dibuka melemah sebesar 20,31 poin atau 0,34 persen ke posisi 5.873,05.
Sementara, kelompok 45 saham unggulan atau LQ45 bergerak turun 5,15 poin (0,55 persen) menjadi 924,83. Kendati dibuka melemah, IHSG kini mulai terus bergerak menguat dan kembali berada di zona hijau.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah mengaku belum bisa memastikan apakah BI akan menaikkan suku bunga acuannya lagi atau tidak. Pasalnya, perlu pertimbangan matang.
“Kami belum bisa prediksi, yang pasti kita jaga keseimbangan internal dan eksternal. Dampaknya juga akan kita lihat tahun depan seperti apa,” ujar Nanang di Jakarta, Rabu (11/7).
Ia pun menyebutkan, tidak hanya Indonesia, hampir semua negara di dunia pun mengalami tekanan mata uang. “Thailand bahkan sudah habiskan 8 billion dolar AS dalam tiga bulan untuk jaga stabilitas. Jadi semua, negara memang naikkan suku bunga karena likuiditas secara global menurun,” tuturnya.
Lebih lanjut, kata dia, kebijakan BI menaikkan suku bunga acuannya bukanlah untuk merespons kondisi ekonomi domestik, melainkan merespons tekanan global.
“Jadi, kita tetap jaga stabilitas. Kami juga imbau agar gunakan valas (valuta asing) sesuai kebutuhan,” kara Nanang menambahkan.