Jembrana | Sapujagadnews.com – Berawal dari Pertanyaan itulah, Jro Mangku Suardana yang lahir di Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali pada tanggal 19 Arpil 1975 dari pasangan orang tua bernama Jro Mangku Waniya dan (Alm) Jro Mangku Sutiari, yang memang sejak masa mudanya terlihat telah senang dengan kehidupan sepiritual, kemudian terus melakukan penelusuran tentang ajaran Liak Bali ini.
Hingga seiring perjalanannya akhirnya berhasil merampungkan penulisan buku berjudul Tattwa Liak (Hakekat Lingga Aksara) yang memuat kontroversi pelurusan sejarah tentang ajaran Liak di Bali yang sejatinya adalah ajaran tingkat sempurna yakni warisan adiluhung dari leluhur Hindu di Bali bahkan ajaran ini adalah sebagai salah satu tuntunan dalam mencapai tingkatan Moksha yang merupakan tujuan akhir dari agama Hindu, akan tetapi selama ini selalu dikambinghitamkan (dipropaganda) hanya pada ranah kejahatan.
Selain buku Tattwa Liak, Jro Mangku Suar juga telah merampungkan penyusunan buku lainnya tentang keagamaan (khusus Hindu) seperti Buku Puja Pengastawa (Piodalan & Kramaning Sembah) dan sebagainya.
“Saya melakukan penelusuran selama lebih kurang 21 tahun yakni sejak tahun 1995 hingga 2016 khususnya untuk merampungkan penulisan buku Tattwa Liak”. Yang jelas berbagai hambatan dan kendala saya alami, diantaranya yang paling utama seperti harus bisa mengusir rasa takut (tidak boleh kabur.red) ketika melakukan penelusuran di Setra Gandham Ayu atau Kuburan”, jelas Jro Mangku Suar.
Jro Mangku Suar, yang juga sebagai anggota TNI aktif hingga kini berdinas di Korem 163/Wirasatya dan saat ini juga ngayah di Parisada Hindu Dharama Indonesia (PHDI) Kabupaten Jembrana serta menjadi seorang Pemangku di Pura Tirtha Lan Segara Dangkahyangan Rambutsiwi, Minggu (19/4) menjelaskan bahwa, jika kita mengacu pada aksara-aksara suci Hindu serta kisah-kisah yang menjadi legenda turunnya Ajaran Liak seperti yang apa disuratkan pada beberapa lontar yang merupakan warisan adi luhung dari para lelangit (leluhur) kita sebagai dasar sastra agama dan budaya Hindu khususnya di Bali, tidaklah ditemukan adanya makna aksara berarti LEAK dan yang ada adalah kata LIAK. Kata LIAK disini merupakan rangkaian dari 2 suku kata yakni “Li” dan “Ak” yang merupakan singkatan dari Lingga Aksara, yang mana Lingga berarti Tempat dan Aksara berarti Huruf. Adapun aksara atau huruf yang dimaksud disini adalah Dasa Aksara yakni 10 aksara suci yang merupakan simbul kekuatan (sakti) dari 10 Dewa sebagai manifestiasi dari Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) dalam upaya menjaga keseimbangan semesta dari segala penjuru alam (Pengider Bhuana) yang di Bali dikenal dengan Dewata Nawa Sanga.
Maka ajaran Liak adalah ajaran kerohanian bersumber dari Bali yang bertujuan untuk mencari pencerahan lewat aksara suci, yaitu menempatkan dengan cara memasukkan dan mengeluarkan kekuatan aksara dalam tubuh melalui tata cara tertentu.
“Dari sini dapat kita ketahui, mengapa dulu para Leluhur Bali belajar ilmu Liak, karena dapat dibayangkan manusia akan mengalami Avidya (Kegelapan) disaat kita itu sendiri tidak mengatahui Aksara”, jelas Jro Mangku Suar.
Kekuatan aksara ini disebut Panca Gni Aksara dan siapapun manusia yang mempelajari kerohanian dalam merk apapun apabila mencapai puncaknya dia pasti akan mengeluarkan cahaya (aura). Cahaya ini bisa keluar melalui lima pintu indra tubuh, yakni : telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan, sehingga apabila kita melihat orang Ngelekas atau yang dikenal dengan istilah Meraga Sukma di kuburan atau tempat sepi, api seolah-olah membakar orang tersebut dan api atau cahaya inilah yang lazim disebut Endihan yang sebenarnya tidak perlu ditakuti (bersikaplah sewajarnya) karena bukanlah seperti api yang bisa digunakan masak, melainkan adalah aura. Namun, selama ini ajaran Liak selalu dikambinghitamkan padahal pada prinsipnya ajaran Liak (Pangeliakan) tidak mempelajari bagaimana cara menyakiti orang, yang menyakiti adalah orangnya (oknumnya) ketika mereka telah menguasai ilmu apapun yang dimilikinya saat mengaplikasikannya dalam sebuah tindakan menjadi aliran Kiri (Pangiwa).
Seperti pada contohnya, ilmu Fisika, Biologi, Kimia dan sebagainya, semua diciptakan untuk kebaikan dunia, namun bisa digunakan untuk menyakiti oleh orang yang memahaminya.
Secara gamblang, sebelum lebih jauh berpikir tentang ilmu (merk apapun) berpikirlah terlebih bahwa ilmu itu ibarat seperti pedang. Dimana pedang memiliki dua bilah mata yang bisa disabetkan ke kanan dan ke kiri atau kemana saja. Untuk apa memiliki pedang, seberapa tajam pedang, adalah kebutuhan dan tingkat penguasaan dari manusia itu sendiri.
Begitu juga dengan Pangeliakan, adalah ajaran bagaimana dia mendapatkan sensasi ketika bermeditasi dalam perenungan aksara-aksara suci yang menjadi lambang kekuatan para Dewa tersebut dan setelah manusia itu menguasainya maka bisa digunakan apa saja atau ke arah mana saja sesuai kebutuhan mereka yang menguasainya. Disini, ketika sensasi itu datang maka jiwa orang itu bisa jalan-jalan keluar tubuhnya melalui Ngelekas (Meraga Sukma). Kata Ngelekas artinya kontraksi bathin agar badan astral kita bisa keluar. Disini orang Ngeliak apabila sedang mempersiapkan puja bathinnya disebut Angeregep Pangelekasan. Sampai di sini jiwa kita bisa jalan-jalan dalam bentuk cahaya yang umum disebut Endihan tadi, dimana bola cahaya melesat dengan cepat. Diulas kembali bahwa Endihan ini adalah bagian dari badan astral manusia, badan ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu (dimensi) hingga disinilah pelaku bisa menikmati keindahan alam dalam dimensi bathin yang lain.
Namun jangan salah, dalam dunia Pangeliakan juga ada kode etiknya, sebab tidak semua orang bisa melihat Endihan, juga tidak sembarangan berani keluar dari badan kasar kalau tidak ada kepentingan mendesak (terpaksa).
Peraturan yang lain juga ada seperti tidak boleh masuk atau berada dekat rumah orang yang memiliki kematian, orang Ngeliak hanya shopingnya di kuburan (Pemuhunan Setra). Disini apabila ada mayat baru, praktisi yang mendalami ajaran Liak wajib datang ke kuburan untuk memberikan doa agar jiwanya mendapat tempat yang baik sesuai karmanya.
Begini bunyi doanya Ngeliak memberikan berkat, “Ong, Gni Brahma Anglebur Panca Maha Butha, Anglukat Sarining Mertha, mulihakena kita ring Bhatara Guru, Tumitis Kita Dadi Manusia Maha Utama, Ong Rang Ring Sah Preta Namah”, sambil membawa Kuwangen untuk mengharumkan roh Sang Lampus (orang meninggal) dan Kelapa Gading untuk dipercikkan sebagai Tirtha agar bisa Amor Ring Achintya (manunggal dengan Hyang Widhi). Namun, disinilah terkadang menimbulkan perbedaan pandangan bagi orang awam dikatakan orang Ngeliak ke kuburan adalah memakan mayat tersebut.
Penerapkan ajaran Liak harus di kuburan karena paham Liak seperti yang telah dijelaskan di atas, adalah apapun status dirimu menjadi manusia, orang sakti, sarjana, kaya, miskin, akan berakhir di kuburan. Pada tradisi sebagian orang (di India-red) meyakini tidak ada tempat yang tersuci selain di kuburan. Kenapa demikian, karena di tempat inilah para roh berkumpul dalam pergolakan spirit, bagi penganut ajaran Tantric ini bermeditasi di kuburan disebut meditasi “Kavalika”. Sementara di Bali, kuburan dikatakan keramat karena sering dimunculkan dengan pemahaman akan hal-hal yang meyeramkan, mungkin ini juga disebabkan karena kita jarang membaca lontar “Tatwaning Ulun Setra”. Sampai, kita tidak tahu sebenarnya bahwa kuburan adalah tempat yang paling sempurna untuk bermeditasi, memohon dan ataupun memberikan berkat doa. Sementara di Bali, justru ada beberapa daerah yang terkesan lucu menganggap kuburan adalah tempat sebel atau leteh (kotor). Cerita ini dimulai, dimana ketika ada orang meninggal (Ngaben), keluarganya tidak boleh sembahyang ke pura karena alasan sebel. Padahal, kalau Ngaben kita juga mengahaturkan Panca Sembah kepada Hyang Widhi di kuburan, lalu dimana beda letak sebel Pura dan sebel Kuburan bagi Tuhan !? Ini hanya pemberlakuan awig-awig dari manusia saja yang tanpa disadari justru melahirkan perbedaan pandangan antara Setra dan Pura, dimana Setra adalah tempat suci dan Pura adalah tempat yang disucikan. Maka disini dipesankan, Hindu jangan disakralkan tetapi mari kita sucikan, karena ada perbedaan dalam perlakuan antara mensakralkan, suci dan disucikan (mensucikan).
Praktisi yang mendalami ajaran Liak juga mempunyai keterbatasan tergantung dari tingkatan rokhani yang dipelajarinya. Ada 3 golongan ajaran Liak, dimana pada masing-masing golongan ini memiliki tingkatan berbeda, yakni Liak golongan Nista dari tingkat 1 hingga tingkat 7, Liak Madya dari tingkat 1 hingga tingkat 7 dan Liak Utama dari tingkat 1 hingga tingkat 7, sehingga total tingkat Pangeliakan dari ketiga golongan tersebut di atas sebanyak 21 (Selikur).
Jro Mangku Suar selalu bersyukur karena karya sastranya saat ini dapat diterima oleh kalangan masyarakat di seluruh Nusantara, bahkan buku Tattwa Liak telah beredar hingga ke Manca Negara seperti Jerman dan Belanda serta beberapa kali menjadi Narasumber materi Tattwa Liak & Teknik Ngereh dalam sebuah Workshop yang diselenggarakan Kemenag Kabupaten Jembrana yang difasilitasi oleh Kasi Ura Hindu Kemenang Kabupaten Jembrana, Ida Bagus Rimbawan, S.Ag M.Si juga Iwan Pranajaya dari PHDI Provinsi Bali serta beberapa kali pementasan Drama Kolosal Tattwa Liak yang melibatkan 200 pemeran di stage Pura Jagadnatha Kabupaten Jembrana yang difaslitasi oleh Pemkab Jembrana.
Berikut, pencetakan beberapa buku pernah difasilitasi oleh mantan Pangdam IX/Udayana, Mayjen (Pur) Wisnu Bawa Tenaya yang saat ini menjabat Ketua Umum PHDI Pusat dan mantan Komandan Korem 163/Wirasatya yang saat ini menjabat sebagai Komandan Jenderal Kopassus, Mayjen TNI I Nyoman Cantiasa. Selanjutnya karena keterbatasan dana maka Jro Mangku Suar berharap nantinya ada investor yang dapat mempublikasikan buku-buku karyanya demi kepentingan umat. Berikut, untuk mendapatkan buku-buku karya sastra Jro Mangku Suar, khusunya Tattwa Liak bisa dari toko-toko buku atau langsung menghubunginya melalui WA – 0818228384. “Saya berharap, diantaranya melalui penulisan buku Tattwa Liak ini masyarakat kemudian dapat lebih mengenal apa dan bagaimana sesungguhnya ajaran Liak (Pangeliakan) disini, sehingga dapat memberikan wawasan maupun pengetahuan lebih mendalam serta bermanfaat bagi semua pihak dan buku Tattwa Liak nantinya juga dapat dijadikan Buku Wajib dan salah satu acuan dalam menetukan sendi-sendi budaya Bali”, ujarnya. (Red)